Alegori Kehancuran Moral dalam Cerpen Robohnya Surau Kami

Selasa, 17 Juni 2025 16:04 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Robohnya surau kami
Iklan

Meskipun berukuran pendek, cerpen ini memuat refleksi yang tajam tentang kemunafikan religius, ketimpangan sosial, dan kehancuran nilai-moral.

***

Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1956, telah menjadi salah satu karya sastra Indonesia paling kritis terhadap kondisi sosial dan religius masyarakat. Meskipun berukuran pendek, cerpen ini memuat refleksi yang tajam tentang kemunafikan religius, ketimpangan sosial, dan kehancuran nilai-nilai moral di tengah masyarakat yang tampak religius namun abai terhadap realitas kemanusiaan.

Judulnya yang mengandung unsur metaforis, Robohnya Surau Kami, dapat dibaca sebagai simbol ambruknya struktur moral dalam masyarakat yang lebih mementingkan ritual daripada etika.

Alegori dalam Cerita

Secara eksplisit, cerpen ini berkisah tentang seorang tokoh tua, seorang penjaga surau yang tampak religius dan tekun beribadah. Namun, di akhir hayatnya, ia mendapati dirinya 'masuk neraka' karena dianggap tidak pernah berbuat apa-apa bagi sesamanya selama hidup. Dalam bingkai penceritaan ini, A.A. Navis menyisipkan alegori tentang kehancuran bukan hanya secara fisik—yaitu surau yang roboh—tetapi secara moral dan spiritual.

Surau dalam cerita melambangkan pusat moral dan religius komunitas. Namun, yang seharusnya menjadi tempat pembentukan nilai-nilai luhur dan kemanusiaan justru menjadi simbol kemunduran spiritual karena kehilangan makna substansial ibadah: tindakan nyata bagi sesama.

Tokoh tua yang diceritakan dalam cerpen merupakan gambaran dari individu yang menjalani kehidupan dengan sangat religius dalam artian formal—shalat, berzikir, membaca kitab suci—namun tidak pernah menjalankan tanggung jawab sosialnya. Ia tidak pernah menentang ketidakadilan, tidak membantu orang miskin, tidak mendorong perubahan sosial, dan tidak menggunakan hidupnya untuk kemaslahatan umum. Dalam tafsir moral, inilah yang menjadi inti kritik Navis: religiusitas yang tidak membumi, tidak empatik, dan tidak memiliki daya ubah terhadap kehidupan sosial.

Dalam kisah ini, A.A. Navis menyampaikan bahwa beragama tidak cukup hanya melalui ritual dan simbol; moralitas sejati terletak pada tindakan nyata yang memberi manfaat pada sesama. Ketika agama dijalankan hanya dalam kerangka individual dan tertutup, ia kehilangan fungsinya sebagai cahaya dalam kehidupan bersama.

Kritik Sosial yang Tajam

Cerpen ini juga menjadi kritik sosial terhadap budaya masyarakat yang menjunjung tinggi penampilan keagamaan tetapi membiarkan ketimpangan, kemiskinan, dan ketidakadilan merajalela. Ketika orang-orang seperti tokoh tua dalam cerita lebih memilih berdiam di surau daripada ikut menyelesaikan persoalan sosial, maka masyarakat kehilangan penopang moralnya. Dalam konteks ini, “robohnya surau” bukan sekadar bangunan fisik yang hancur, melainkan simbol dari keruntuhan nilai-nilai keadilan sosial dan empati kolektif.

A.A. Navis tampaknya ingin menggugah pembaca bahwa tanggung jawab moral seseorang tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial. Menyepi dan menjauh dari persoalan dunia bukanlah bentuk kesalehan, melainkan bentuk pelarian yang pada akhirnya tidak menyelamatkan.

Bagikan Artikel Ini
img-content

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler